Tinggalkanlah Segala Hal Yang Meragukanmu

Posted on

Tinggalkanlah Segala Hal Yang Meragukanmu – Pada kesempatan ini Dutadakwah akan membahas tentang Menegrjakan Sesuatu. Yang mana dalam penjelasan kali ini membahas yang ragu-ragu itu ditinggalkan, diperintahkan bagi kita untuk mengambil yang yakin dengan secara singkat dan jelas.

Tinggalkanlah Segala Hal Yang Meragukanmu

Kita tentunya tidak boleh mengerajakan sesuatu yang kita ragukan. Semua yang kita ragukan mesti kita nggalkan. Dan semua yang ragu harus kita ganti dengan sesuatu yang tidak ragu. Untuk lebih jelasnya silahakan simak ulasan berikut ini dengan baik.

Dalam Hadits Arbain karya Imam Nawawi menerangkan,

عن الحسن بن علي رضي الله عنهما قال : ” حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ ) ، رواه الترميذي والنسائي وقال حسن صحيح

Artinya : “Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Penjelasan Hadits

Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma adalah cucu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur anak perempuan, karenanya disebut sibth. Sedangkan cucu dari anak laki-laki disebut hafiid.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyifati Al-Hasan bin ‘Ali dengan as-sayyid, beliau bersabda,Artinya : “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin “. (Hadits Bukhari Nomor 3463)

Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan benar-benar terjadi, di mana setelah ‘Ali bin Abi Thalib wafat, Al-Hasan dibai’at untuk menjadi khalifah setelahnya. Akan tetapi, ia mengalah dan khilafah diberikannya kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Dengan sikap beliau yang mulia ini, Allah mendamaikan antara pengikut ‘Ali dan pengikut Mu’awiyah. Dengan sebab ini pulalah kaum muslimin memperoleh kebaikan yang banyak.

Al-Hasan lebih utama daripada Al-Husain. Akan tetapi, kaum Rafidhah (Syi’ah) lebih mengutamakan Al-Husain karena terbunuhnya beliau radhiyallahu ‘anhu membuahkan kesedihan yang sangat mendalam. Mereka menjadikan peristiwa ini sebagai alasan, karena jika seandainya mereka jujur dalam penghormatan kepada Ahlul Bait (keturunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), niscaya mereka akan mengutamakan Al-Hasan, karena memang ia lebih utama dari Al-Husain.

Adapun istilah Raihanah adalah bunga wangi nan indah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyifati kedua cucu beliau, Al-Hasan dan Al-Husain dengan sebutan itu.

Hadits ini termasuk jawami’ul kalim, kalimat yang singkat namun padat. Dan para ulama jadikan ini sebagai kaidah dalam fikih.

Faedah Hadits

  1. Agama Islam tidak menghendaki umatnya memiliki perasaan ragu dan bimbang.
    Jika Anda menginginkan ketenangan dan ketentraman, tinggalkanlah keraguan dan buang jauh-jauh, terutama setelah selesai melaksanakan suatu ibadah sehingga engkau tidak merasa gelisah.
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sesuatu dengan singkat, namun begitu luas maknanya. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Seandainya seseorang membuat penafsiran atau penjelasan mengenai hadits ini dalam satu jilid buku yang sangat tebal, niscaya kandungan dua kalimat ini akan melebihinya.”
  3. Syari’at Islam itu membawa kemudahan.
  4. Hadits ini mengandung pelajaran agar kita diam terhadap perkara syubhat dan meninggalkannya. Kalau sesuatu yang halal tentu akan mendatangkan ketenangan, sedangkan sesuatu yang syubhat mendatangkan keragu-raguan. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:280.
  5. Bentuk wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu mengambil yang tidak meragukan. Hal ini dikatakan oleh Abu ‘Abdirrahman Al-‘Umari, seorang yang terkenal zuhud. Hal ini dikatakan pula oleh Al-Fudhail, Hasan bin Abi Sinan. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:280.
  6. Dari sekelompok sahabat seperti Umar, Ibnu ‘Umar, Abu Ad-Darda’, dan Ibnu Mas’ud mengatakan, “Apa yang engkau inginkan dari hal yang masih meragukan padahal di sekelilingmu ada 4.000 hal yang tidak meragukan.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:280)
  7. Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini bahwa keluar dari perselisihan ulama itu lebih afdal. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:282.
  8. Meninggal dusta dan terus menjaga kejujuran akan membawa ketenangan, sedangkan dusta selalu membawa pada keragu-raguan. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar, hlm. 97.

Yakin Tidak Bisa Dikalahkan Dengan Keraguan

Dalam shahih Bukhari-Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,Artinya : ” Janganlah keluar (dari shalat) hingga ia mencium bau atau mendengar suara (kentut).” (Hadits Nasai Nomor 160).

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits di atas, “Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijmak). Hadits ini menjadi landasan suatu kaidah dalam Islam dan menjadi kaidah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu yang datang tiba-tiba, maka tidak membahayakan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:47).

Contoh Dalam Kaidah Fikih

  1. Siapa yang yakin dalam keadaan suci, kemudian dalam keadaan ragu-ragu datang hadats, maka ia tetap dalam keadaan thaharah (suci), baik hal ini didapati ketika shalat atau di luar shalat. Inilah pendapat madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama lainnya dari salaf (ulama dahulu) dan khalaf (ulama belakangan). Demikian kata Imam Nawawi rahimahullah sebagaimana dalam Syarh Shahih Muslim, 4:47.
  2. Siapa yang berhadats pada Shubuh hari, kemudian ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka ia dihukumi seperti keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats. Jadinya ia harus berwudhu. Karena keadaan awal itulah keadaan yang yakin dan tidak bisa dikalahkan dengan hanya sekedar ragu-ragu. (Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah, hlm. 77)
  3. Barangsiapa yang pada sore hari menjelang matahari tenggelam telah berbuka puasa, padahal ia masih ragu akan tenggelamnya matahari, maka batal puasanya. Karena yang yakin adalah matahari belum tenggelam dan yakin tersebut tidak bisa dihilangkan dengan sekedar ragu-ragu. Lihat Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hlm. 283.
  4. Seseorang membeli air dan mengklaim setelah itu bahwa air tersebut najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang jadi pegangan adalah perkataan si penjual. Karena hukum asal air–inilah hukum yakinnya–adalah suci, tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu. (Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hlm. 283).
  5. Jika seseorang bepergian jauh ke suatu negeri dan tidak lagi didengar kabarnya dalam jangka waktu yang lama. Lalu muncul keraguan apakah ia masih hidup. Padahal tidak ada berita yang menunjukkan kematiannya, artinya belum datang suatu yang yakin. Maka tidak boleh ia dinyatakan mati sampai datang berita yang pasti (yang yakin). Sehingga ahli waris tidak bisa begitu saja membagi hartanya sebagai warisan sampai yakin akan kematiannya. (Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hlm. 282).
  6. Jika seseorang yakin di pakaiannya terdapat najis, namun tidak diketahui manakah tempatnya, maka dalam rangka kehati-hatian, ia menggosok seluruh bagian dari pakaiannya. Karena keraguan tidak bisa menghilangkan yang yakin. (Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hlm. 282).
  7. Tidak wajib bagi pembeli menanyakan kepada penjual mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau bukan, atau barang tersebut barang curian ataukah bukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hukum asal segala sesuatu di tangan seorang muslim adalah miliknya” (Majmu’ah Al-Fatawa, 29:323). Inilah hukum asalnya dan inilah yang yakin. Yang yakin ini tidak bisa dikalahkan dengan sekedar keraguan.
  8. Kehati-hatian dalam rangka ragu-ragu dalam masalah menilai suatu air, bukanlah hal yang disunnahkan (dianjurkan) bahkan tidak disunnahkan sama sekali untuk menanyakannya. Bahkan yang dianjurkan adalah membangun perkara di atas hukum asal yaitu suci. Jika ada indikasi yang menunjukkan najis, barulah dikatakan najis. Jika tidak, maka tidak perlu sampai dianjurkan untuk menjauhi penggunaan air tersebut cuma atas dasar sangkaan. Namun jika telah sampai hukum yakin, maka ini masalah lain lagi. Demikian yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 21:56.
  9. Ada seseorang yang telah selesai shalat, lantas ia ragu-ragu apakah mengerjakan shalat Zhuhur tadi tiga ataukah empat raka’at. Keragu-raguan seperti ini tidak perlu diperhatikan. Asalnya shalatnya sah. Selama tidak datang yakin kalau ia mengerjakan shalat tiga raka’at. Kalau memang yakin baru tiga raka’at, maka ia menambah lagi raka’at yang keempat selama jedanya tidak lama, lalu ia salam, dan kemudian tutup dengan sujud sahwi. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 180.
Tinggalkanlah Segala Hal Yang Meragukanmu
Tinggalkanlah Segala Hal Yang Meragukanmu

Demikian ulasan tentang Tinggalkanlah Segala Hal Yang Meragukanmu. Semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan untuk kita semua. Terimakasih.