Akad Nikah Menurut Syafi’i

Akad Nikah Menurut Syafi’i

Pendahuluan

Akad nikah merupakan salah satu ikatan suci yang memiliki kedudukan agung dalam Islam. Ia menjadi pintu masuk bagi dua insan untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang sah, penuh berkah, serta dilandasi dengan nilai ibadah. Dalam khazanah fikih Islam, pembahasan tentang akad nikah menjadi salah satu topik penting karena menyangkut keabsahan hubungan suami-istri.

Di antara empat madzhab fikih besar dalam Islam, madzhab Syafi’i memberikan penekanan yang sangat detail terhadap rukun dan syarat akad nikah. Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H) menegaskan bahwa nikah bukan hanya kontrak sosial, melainkan perjanjian yang sakral dan memiliki dimensi ibadah. Artikel ini akan mengulas secara mendalam akad nikah menurut pandangan madzhab Syafi’i, meliputi definisi, dasar hukum, rukun, syarat, hingga implikasi sosial dan spiritualnya.


Definisi Akad Nikah Menurut Madzhab Syafi’i

Secara bahasa, nikah berarti al-jam’u (menghimpun) dan al-wath’u (hubungan suami-istri). Adapun menurut istilah fikih Syafi’i, nikah adalah akad yang dilakukan dengan sighat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami-istri dan menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa akad nikah adalah ijab dan qabul yang dilakukan sesuai syariat, sehingga laki-laki dan perempuan yang sebelumnya haram bersatu menjadi halal. Dengan demikian, akad nikah bukan sekadar kesepakatan, melainkan ibadah yang memiliki konsekuensi hukum duniawi dan ukhrawi.


Dasar Hukum Akad Nikah

Madzhab Syafi’i mendasarkan keabsahan akad nikah pada Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama:

  1. Al-Qur’an

    • QS. An-Nisa’ [4]: 3

      فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ

      “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat…”

    • QS. Ar-Rum [30]: 21

      وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا

      “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri…”

  2. Sunnah Nabi
    Rasulullah ﷺ bersabda:

    عَنْ ‌عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، ‌مَنِ ‌اسْتَطَاعَ ‌مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

    “Artinya: “Dari Abdullah, dia berkata: bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, siapa saja yang telah mampu di antara kalian maka hendaklah ia menikah. Sebab nikah itu merupakan hal yang paling bisa menundukkan pandangan dan pemelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, maka berpuasalah. Karena puasa adalah sebagai perisainya.” (HR. Muslim)
    .

  3. Ijma’ Ulama
    Para ulama sepakat bahwa akad nikah adalah jalan satu-satunya yang sah untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.


Rukun Nikah Menurut Syafi’i

Dalam madzhab Syafi’i, terdapat lima rukun nikah yang harus terpenuhi agar akadnya sah:

  1. Calon suami

    • Harus jelas orangnya.

    • Bukan mahram bagi calon istri.

    • Tidak sedang ihram.

  2. Calon istri

    • Harus jelas orangnya.

    • Tidak dalam masa iddah.

    • Bukan mahram bagi calon suami.

    • Tidak sedang ihram.

  3. Wali
    Menurut madzhab Syafi’i, wali adalah rukun yang sangat penting. Tanpa wali, nikah dianggap batal. Rasulullah ﷺ bersabda:

    عن أبي موسى رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «لا نِكَاحَ إِلّا بِوَليٍّ». [صحيح] – [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد] – [سنن أبي داود: 2085]

    Abu Mūsā -raḍiyallāhu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,
    “Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali.”
    [Sahih] – [HR. Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad] – [Sunan Abu Daud – 2085].

    Urutan wali dalam nikah adalah ayah, kemudian kakek, saudara laki-laki kandung, dan seterusnya menurut urutan nasab.

  4. Dua orang saksi

    • Minimal dua saksi laki-laki Muslim yang adil.

    • Saksi hadir saat akad ijab qabul.

  5. Sighat akad (ijab qabul)

    • Ijab: pernyataan dari wali atau wakilnya untuk menikahkan.

    • Qabul: pernyataan dari mempelai pria atau wakilnya untuk menerima.

    • Harus dilakukan dalam satu majelis dan tidak boleh diselingi pembicaraan lain yang memutuskan rangkaian akad.


Syarat-Syarat Akad Nikah

Selain rukun, madzhab Syafi’i menetapkan beberapa syarat sah nikah, di antaranya:

  1. Syarat suami-istri

    • Jelas identitasnya.

    • Tidak ada halangan syar’i (seperti mahram, iddah, atau beda agama yang tidak dibenarkan).

  2. Syarat wali

    • Laki-laki Muslim, baligh, berakal, dan adil.

    • Tidak boleh wali perempuan.

  3. Syarat saksi

    • Dua orang laki-laki Muslim yang adil dan baligh.

    • Mendengar dan memahami ijab qabul.

  4. Syarat sighat akad

    • Menggunakan lafaz yang jelas (sharih) seperti “nikah” atau “tazwij”.

    • Tidak boleh digantungkan pada masa depan (ta’liq) atau dibatasi waktu tertentu (nikah mut’ah).

    • Tidak boleh ada paksaan.


Mahar dalam Pandangan Syafi’i

Mahar atau maskawin bukan termasuk rukun nikah menurut Syafi’i, tetapi ia menjadi kewajiban yang timbul setelah akad nikah sah dilakukan. Dalilnya adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa’ [4]: 4:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةًۗ

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”

Jika mahar belum ditentukan saat akad, nikah tetap sah, namun suami wajib membayar mahar misil (mahar yang lazim bagi wanita sekelasnya).


Akad Nikah yang Tidak Sah Menurut Syafi’i

Beberapa kondisi yang menyebabkan akad nikah tidak sah:

  1. Nikah tanpa wali.

  2. Nikah tanpa saksi.

  3. Nikah mut’ah (dibatasi waktu tertentu).

  4. Nikah syighar (pertukaran perempuan tanpa mahar).

  5. Nikah dalam keadaan ihram.

  6. Nikah dengan orang yang masih dalam masa iddah.


Dimensi Sosial dan Spiritual Akad Nikah

Imam Syafi’i memandang akad nikah bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan spiritual:

  • Dimensi sosial: pernikahan menjaga keturunan, kehormatan keluarga, serta membangun masyarakat yang stabil.

  • Dimensi spiritual: akad nikah bernilai ibadah, karena mengikuti sunnah Nabi dan menjaga diri dari maksiat.

Dengan demikian, akad nikah menurut Syafi’i adalah bentuk ibadah sekaligus kontrak sosial yang menjaga keberlangsungan umat.


Perbandingan Singkat dengan Madzhab Lain

Sebagai tambahan, dalam madzhab Hanafi, nikah tanpa wali bisa sah jika perempuan baligh dan berakal. Namun dalam madzhab Syafi’i, keberadaan wali adalah rukun mutlak. Hal ini menunjukkan kehati-hatian Imam Syafi’i dalam menjaga keabsahan akad dan melindungi hak-hak perempuan.


Kesimpulan

Akad nikah menurut madzhab Syafi’i merupakan proses sakral yang harus memenuhi lima rukun utama: suami, istri, wali, dua saksi, dan sighat ijab qabul. Selain itu, terdapat syarat-syarat ketat yang memastikan akad berjalan sesuai syariat. Mahar menjadi kewajiban setelah akad sah, meski bukan termasuk rukun.

Dengan ketelitian Imam Syafi’i, pernikahan tidak hanya dipandang sebagai hubungan kontrak duniawi, tetapi juga ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Oleh karena itu, memahami akad nikah menurut madzhab Syafi’i penting bagi umat Islam, agar pernikahan yang dijalankan benar-benar sah, berkah, dan membawa kemaslahatan dunia-akhirat.