Yang Diharamkan Sebab Haid (Lengkap Dengan Dalilnya)

Posted on

Yang Diharamkan Sebab Haid (Lengkap Dengan Dalilnya) Pada Kesempatan ini Duta Dakwah Akan Menuliskan Lanjutan Masalah-masalah Penting Seputar Wanita Bagian keenam dikutip dari Kitab “HAIDHUN NISAA” Karya M. ASMAWI, ZA. Ini adalah lanjutan dari bagian kelima ulasan tentang Masa Mengandung (Masa Hamil)

Yang Diharamkan Sebab Haid (Lengkap Dengan Dalilnya)

Untuk lebih jelasnya sebaiknya silahkan baca Ulasan  Duta Dakwah dibawah ini dengan Seksama.

Haram Sebab Haid

Yang diharamkan sebab Hadats Haid diterangkan sebagai berikut

وَيَحْرُمُ بِالْحَيْضِ) وَفِي بَعْضِ النُسَخِ وَيَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ (وَالنِّفَاسِ ثَمَانِيَةُ اَشْيَاءَ). اَحَدُهَا (الصَّلَاةُ) فَرْضًا اَوْنَفْلًا وَكَذَا سَجْدَةُ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ)

Perkara yang haram disebab kan karena haidh, menurut sebagian keterangan yang haram bagi orang yang haidh dan nifas itu ada 8 perkara.

Haram Sholat

  1. Shalat, baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah. Demikian juga haram melakukan sujud tilawah dan sujud syukur.

Karena sabda Rasulullah s.a,w.:

“إَذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِّى الصَّلَاةَ”

“Jika datang darah haidh, maka tinggalkanlah shalat.” (Al-Hadis)

Ijmak Ulama telah sepakat terhadap keharaman ini. Dan wanita yang haidh tersebut juga tidak diwajibkan mengqadhak shalatnya, karena ada Hadis sebagaimana tertulis dalam Kifayatul-Akhyar :

رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كُنَّا نَحِيْضُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ، ثُمَّ نَطْهُرُ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ”

diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. Aisyah berkata:

“Kita pernah haidh di samping Rasulullah s.a.w., lalu kita suci. Maka kita diperintahkan untuk mengqadhak puasa, tetapi tidak diperintahkan untuk mengqadhak shalat.”

وَكَمَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ الصَّلَاةُ يَحْرُمُ عَلَيْهَا الصَّوْمُ لِمَفْهُوْمِ هَذَا الْحَدِيْثِ، وَالْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَى تَحْرِيْمِ الصَّوْمِ، وَلَكِنْ تَقْضِي الْحَائِضُ الصَّوْمَ لِحَدِيْثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا

Dan mafhumnya Hadis ini pula perempuan yang haidh haram berpuasa di samping haramnya melakukan shalat. Ijmak Ulama juga telah sepakat atas keharaman melakukan puasa ini ketika dalam haidh, akan tetapi dia wajib meng-qodho puasanya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Hadisnya ‘Aisyah tadi.

Haram Puasa, baca Qur’an Dan Menyentuhnya

(وَ) الثَّانِي (الصَّوْمُ) فَرْضًا اَوْ نَفْلًا. (وَ) الثَالِثُ (قِرَاءَةُ الْقُرْأَنِ (وَ) الرَابِعُ (مَسُ الْمُصْحَفِ) وَهُو اِسْمُ الْمَكْتُوْبِ مِنْ كَلَامِ اللهِ بَيْنَ الدَفْتَيْنِ (وَحَمْلُهُ)اِلّا اِذَا خَافَتْ عَلَيْهِ)

  1. Haram Berpuasa, baik puasa fardhu ataupun puasa sunnah.
  2. Haram Membaca A1-Qur’an. (Saya tambahkan tentang haram membaca Al-qur’an bagi wanita yang sedang haidh. “Imam Madzhab, yaitu Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali sepakat keharamannya, sementara itu dari Maliki ada dua riwayat. Pertama: boleh membaca ayat asalkan sedikit. Kedua, yang dinuqil dari kebanyakan shahabatnya: “boleh membaca ayat sebanyak yang dikehendaki”.

      Demikian juga pendapat dari Dawud. Wallahu a’lam).

  1. Haram Menyentuh Mush-haf yaitu nama yang ditulis bagi Kalamullah di antara dua lampiran. Dan haram juga membawa Mushaf, kecuali tetkala keadaan Mushaf itu mengkhawatirkan.

      Demikian juga diterangkan dalam Kifayatul-Akhyar bahwa:

(3) Haram Membaca Alquran, (4) menyentuh mushhaf (Alquran) atau membawanya. Dalil keharamnya membaca Alquran ialah sabda Nabi Muhammad s.a.w.:

وَاحْتَجَّ لِلْقِرَاءَةِ بِقَوْلِهِ ﷺ، “لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَ لَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ” رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ لَكِنَّهُ ضَعِيْفٌ، قَالَ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَبِ : وَاحْتَجَّ لَمْسُ الْمُصْحَفِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : ﴿لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ : الواقعة : 79﴾، وَلِقَوْلِهِ ﷺ، “لَا يَمَسُّ الْقُرْأَنَ إِلَّا طَاهِرٌ” رَوَاهُ الدَّرُ قُطْنِيْ عَنْ اِبْنِ عُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. وَإِذَا حَرَمَ مَسُّهُ فَحَمْلُهُ أَوْلَى إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ فِيْ أَمْتِعَةٍ، وَلَمْ يَقْصُدْ حَمْلَهُ بِخُصُوْصَةٍ، فَإِنْ فَرَضَ أَنَّهُ الْمَقْصُوْدُ حَرَمَ جَزَمَ بِذَلِكَ الرَّافِعِيُّ (نقلت هذا من كفاية الأخيار)

Dan berhujjah untuk keharamannya membaca Al-Qur’an dengan sabda Nabi s.a.w. : “Orang yang junub dan yang haidh tidak boleh membaca sesuatu dari Alquran.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi. Tetapi Hadits ini dha’if sebagaimana tersebut di dalam Syarah Al-Muhadzdzab.
Dalil haramnya menyentuh Al-quran  ialah firman Allah s.w.t. (tidak menyentuh Al-qur’an kecuali orang-orang yang disucikan. : A.S. Al-Waqi’ah : 79).  Dan Hadits Rasulullah s.a.w.: “Tidak boleh menyentuh Alquran kecuali orang yang suci.” (HR. Ad-Daruquthni dan Ibni Umar r.a.). Kalau menyentuh Al-quran hukumnya haram, apalagi membawa Alquran. Kecuali jika Al-quran itu ada di dalam barang bawaan, yang brangnya tidak sengaja membawa Al-quran secara khusus. Tapi kalau yang dimaksudkan membawanya itu Al-quran, maka sekalipun membawanya dengan barang-barang lain, hukumnya tetap haram. Demikian yang telah dipastikan oleh Imam Rafi’i. (Keterangan ini saya kutip dari Kitab Kifayatu-Akhyar)

Haram Masuk Masjid

Selanjutnya dalam Fathul-qorib :

وَ)الْخَامِسُ(دُخُوْلُ الْمَسْجِدِ) لِلْحَائِضِ اِنْ خَافَتْ تَلْوِيْثَهُ)

  1. Haram Memasuki Masjid, bagi orang yang haidh bila memang khawatir darah itu menetes di Masjid.

Untuk lebih jelas lagi keharaman nomor lima ini saya tuliskan sebagai tambahannya yaitu keterangan dalam Kifayatul-Akhyar sebagai berikut:

دُخُوْلُهَا الْمَسْجِدَ إِنْ حَصَلَ مَعَهُ جُلُوْسٌ أَوْ لُبْثٌ وَلَوْ قَائِمَةً أَوْ تَرَدَدَتْ حَرَمَ عَلَيْهَا ذَلِكَ لِأَنَّ الْجُنُبَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ ذَلِكَ، وَلَا شَكَّ أَنَّ حَدَّهَا أَشَدٌّ مِنَ الْجِنَابَةِ، وَإِنْ  دَخَلَتْ مَارَةً فَالصَّحِيْـحُ الْجَوَازُ كَالْجُنُـبِ، وَمَحَلُ الْخِلَافِ إِذَا أَمَنَتْ تَلْوِيْثَ الْمَسْجِدِ، بِأَنْ تَلَجَمَتْ وَاسْتَثْفَرَتْ، فَإِنْ خَافَتْ التَّلْوِيْثَ حَرَمَ بِلَا خِلَافٍ، قَالَ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ: وَلَيْسَ هَذَا مِنْ خَاصِيَّةٍ الْحَيْضِ بَلْ مَنْ بِهِ سَلِسُ الْبَوْلِ أَوْ بِهِ جَرَاحَةٌ نَضَاحَةٌ، وَيَخْشَى مِنْ مُرُوْرِهِ التَّلْوِيْثَ لَيْسَ لَهُ الْعُبُوْرُ، وَلَوْ كَانَ نَعْلُ الدَّاخِلِ مُتَنَجِسًا وَيَتَنَجَّسُ مِنْهُ الْمَسْجِدَ لِرُطُوْبَةِ النَّجَاسَةِ فَلْيَدْلُكْهُ ثُمَّ لِيَدْخُلَ وَهَذَا الدَّلْكُ وَاجِبٌ يَحْرُمُ تَرْكُهُ.

Masuknya perempuan yang sedang haidh ke dalam masjid, jika dia bermaksud duduk di dalamnya, atau berhenti walaupun dengan berdiri, atau berjalan ke sana kemari, hukumnya haram. Sebab orang yang junub saja sudah haram masuk ke dalam masjid. Apalagi orang yang haidh, tentu tidak ada keraguan lagi bahwa itu lebih mengkhawatirkan daripada orang junub. Kalau wanita yang haidh itu hanya mau lewat begitu saja, menurut qaul yang shahih boleh, sebagaimana juga orang yang junub. Pokok perbedaannya, bahwa jika wanita yang haidh itu tidak lagi khawatir mengotori masjid, sebab dia sudah bercawet dan memakai pembalut farji. Tapi jika dia khawatir mengotori masjid, haram hukumnya masuk ke dalam masjid tanpa khilaf (tidak ada perbedaan).

Imam Rafi’i dan lain-lainnya mengatakan: Hukum seperti ini tidak khusus dalam masalah haidh saja, malahan masalah-masalah lain pun demikian juga, seperti orang bekser (sebentar-sebentar mau kencing) atau mempunyai luka yang darahnya terus merembes keluar yang dikhawatirkan mengotori masjid, maka itu pun haram lewat di dalam masjid.

Andaikata orang hendak masuk ke dalam masjid dengan membawa sandal yang ada najisnya, dan dikhawatirkan najisnya itu menetes di dalam masjid, maka seharusnya sandalnya itu dikesetkan dulu baru boleh masuk ke masjid. Mengkesetkan ini hukumny wajib dan haram ditinggalkan.

Haram Thawaf

(وَ)السّادِسُ(الطَّوَافُ) فَرْضًا اَوْ نَفْلًا)

  1. Haram Thawaf, baik thawaf fardlu atau thawap sunnah.

      Untuk memperkuat tentang keharaman tawaf bagi orang yang sedang haidh saya tambahkan sabagaimana tertulis dalam Kifayatul-Akhyar :

لِقَوْلِهِ ﷺ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، وَقَدْ حَاضَتْ فِيْ الْحَجِّ “اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِيْ” ( رَوَاهُ الشَّيْخَانِ. وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِي، وَقَدِ اتَّفَقَ الْأَئِمَةُ الْأَرْبَعَةُ عَلَى مَنْعِهَا مِنْهُ لِهَذَا الْحَدِيْثِ وَتَتَبَرُعُ بِزِيَادِةِ مَحَلِهَا الْحَجَّ، وَهِيَ أَنَّ الْحَائِضَ إِذَا خَالَفَتْ وَطَافَتْ طَوَافَ الرُّكْنِ لَمْ يَصِحْ طَوَافُهَا، وَيُجْبَرُ بِدَمٍ عِنْدَ غَيْرِ الْحَنَفِيَّةِ وَتَبْقَى عَلَى إِحْرَامِهَا، وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ: يَصِحُ طَوَافُهَا وَيَلْزِمُهَا بَدَنَةٌ. وَلَا يَصِحُ سَعْيُهَا بَعْدَهُ لَكِنَّهُ يُجْبَرُ بِشَاةٍ، وَقَالَ الْمُغِيْرَةُ  مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ: لَا تُشْتَرَطُ الطَّهَارَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ. فَإِنْ طَافَ مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ شَاةٌ، وَإِنْ طَافَ جُنُبًا فَعَلَيْهِ بَدَنَةٌ.

Artinya, wanita yang sedang haidh atau nifas haram melakukan tawaf. Karena sabda Nabi Muhammad s.a.w. kepada ‘Aisyah pada waktu ‘Aisyah haidh saat menjalankan ibadah haji. “Kerjakanlah apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang yang haji kecuali tawaf di Baitullah, sampai saatnya kamu suci.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun lafadznya Hadis ini menggunakan lafaznya Imam Bukhari. Berdasarkan Hadis ini, semua imam empat bersepakat bahwa wanita yang haidh atau nifas haram melakukan tawaf. Dan di sini saya tambahkan pula di dalam bab haji, bahwa andaikata wanita yang haidh itu melanggar dan memaksa melakukan tawaf rukun (yaitu tawaf ifadhah), maka tidak sah tawafnya. Dan pelanggaran ini harus ditebus dengan membayar dam menurut selain Imam Hanafi, dan dia harus tetap dalam pakaian ihramnya. Menurut Imam Hanafi, sah tawafnya.

Dan dia wajib menyembelih unta satu ekor. Tetapi sa’inya yang dilakukan setelah tawaf, tidak sah, dan boleh ditebus dengan seekor kambing.

Al-Mughirah (pengikut mazhab Maliki) berkata: Tawaf itu tidak disyaratkan harus suci karena suci itu hanyalah perkara sunnat. Kalau orang itu melakukan tawaf dengan menanggung hadats kecil, dia wajib membayar dam dengan seekor kambing. Dan apabila dia melakukan tawaf dengan menanggung hadats besar yakni junub, dia wajib membayar seekor unta.

Haram Bersetubuh

(وَ) السَّابِعُ (الْوَطْءُ) وَيُسَنُ لِمَنْ وَطِئَ فِيْ اِقْبَالِ الدَّمِ التّصَدُقُ بِدِيْنَارٍ وَلِمَنْ وَطِئَ فِيْ اِدْبَارِهِ التَّصَدُقُ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ)

  1. Haram dijima’, dan disunnahkan bagi orang yang menjima’ ketika derasnya darah yang ke luar agar memberi shadaqah satu dinar. Sedang bagi orang yang menjima’ di waktu darah dalam keadaan sudah berkurang agar memberi shadaqah setengah dinar.

Keterangan :

Apabila si isteri dalam keadaan sedang haidh, maka haram dijima’ (disetubuhi,) jika Si suami menyetubuhinya, maka berarti ia telah melakukan dosa besar (bila memang sebelumnya sudah mengetahui keharaman hukumnya). Sedang bila sama sekali belum mengetahui hukumnya maka perbuatannya tidak dihukumi haram.

Bagi yang sudah mengetahui hukumnya ya’ni haram menyetubuhi isterinya yang sedang haidh tersebut, maka hendaknya cepat-cepat bertaubat kepada Allah meminta ampun. Jika pada waktu disetubuhi, keadaan ke luarnya darah itu sangat deras, maka si suami disunnahkan mengeluarkan shadaqah sebesar satu dinar, sedangkan bila ke luarnya darah itu sudah agak reda maka cukup mengeluarkan setengah dinar saja.

Dalil Al-qur’an

Adapun Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

﴾حُجَّةُ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى : ﴿فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِيْ الْمَحِيْضِ : البقرة : 122

“Maka Jauhilah wanita-wanita pada waktu haidh”. (Al-Baqarab: 222)

Dalam Kifayatul Akhyar djelaskan sebagai berikut :

 وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ عَمَّا يَحِلُّ لِيْ مِنْ اِمْرَأَتِيْ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقَالَ : (لَكَ مَا‎ فَوْقَ الْإِزَارِ)، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَلَمْ يُضَعِفْهُ فَيَكُوْنَ حَسَنًا، وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: “أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كَانَ يَأْمُرُ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَنْ تَأْتَزِرَ وَيُبَاشِرَهَا فَوْقَ الْإِزَارِ”

>Abdullah bin Mas’ud berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah, s.a.w. mengenai apa saja yang halal saya peroleh dari isteri saya yang dalam keadaan haidh. Rasulullah s.a.w. menjawab: “Kamu boleh menikmati apa saja di luar kain sarungnya”. Hadis ini diriwayatkan Abu Daud dan beliau tidak menganggap doif pada Hadits ini. Berarti Hadits ini Hadits hasan.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a: “Bahwa Rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada kita kaum wanita, apabila haidh hendaknya mengenakan tapih (kain panjang yang dipakai oleh orang perempuan), dan boleh suaminya bersentuhan dengannya di luar tapih.

وَرَوَى عَنْ مَيْمُوْنَةَ نَحْوَهُ. وَالْمَعْنَى فِيْ تَحْرِيْمِ مَا تَحْتَ الْإِزَارِ أَنَّهُ حَرِيْمُ‎ الْفَرْجِ، وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ حَامَ حَوْلَ الْحِمْىِ  يُوْشَكُ  أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ” وَقِيْلَ إِنَّمَا يَحْرُمُ الْوَطْءُ فِيْ الْفَرْحِ‎ وَحْدَهُ، وَهَذَا قَوْلٌ قَدِيْمٌ لِلشَّافِعِيِّ، وَحُجَّتُهُ مَا رَوَاهُ أَنَسٌ أَنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوْا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُوَاكِلُوْاهَا وَلَمْ يُجَامِعْهَا فِيْ الْبُيُوْتِ. فَسَأَلَتِ الصَّحَابَةُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ فَاَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى :﴿فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِيْ الْمَحِيْضِ، البقرة : 222﴾. فَتَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : “اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ: إِلَّا النِّكَاحَ” رَوَاهُ مُسْلِــمٌ.

Imam Muslim juga meriwayatkan Hadis seperti di atas dari Maimunah, Isteri Nabi s.a,w. Adapun ‘illat atau penyebab keharamannya ialah karena apa yang ada di dalam tapih itu adalah daerah terlarangnya farji. Padahal Rasulullah s.a.w. sudah pernah bersabda: “Barangsiapa menggembalakan hewannya di sekitar daerah terlarang, sebentar saja pasti akan masuk ke dalamnya.”Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan itu hanya wathi’ saja. Demikian ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i di dalam qaul qadim. Dalilnya yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh Anas, bahwa orang-orang Yahudi, jika isteri-isterinya sedang haidh, mereka tidak mau menemani mereke makan dan tidak mau bergaul dengan mereka di rumah. Lalu para sohabat menanyakan hal ini kepada Rasulullah s.a.w., maka turunlah ayat al-qur’an yang berbunyi : “Singkirilah perempuan-perempuan itu pada waktu haidh” (Q.S. Al-Baqoroh : 222).

Oleh karena yang demikian maka bersabda Rasulullah s.a.w.: “Kamu boleh lakukan apa saja kecuali nikah (jimak).” (HR. Muslim)

قَالَ النَّوَوِيُّ فِيْ شَـرْحِ الْمُهَذَّبِ: وَهُـوَ أَقْوَى دَلِيْلًا فَهُـوَ الْمُخْتَارُ، وَكَذَا اِخْتَارَهُ فِي التَّحْقِيْقِ وَشَرْحِ التَّنْبِيْهِ وَالْوَسِيْطِ. فَعَلَى الْأَوَّلِ هَل يَجُوْزُ الْإِسْتِمْتَاعُ بِالسُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَمَا حَاذَاهُمَا؟ قَالَ النَّوَوِيُّ: لَمْ أَرَ لِأَصْحَابِنَا فِيْهِ نَقْلًا وَالْمُخْتَارُ الْجَزْمُ بِالجَّوَازِ وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ. قَالَ الْإِسْنَائِيُّ: وَقَدْ سَكَتَ الْأَصْحَابُ عَنْ مُبَاشَرَةِ الْمَرْأَةِ لِلرَّجُلِ. وَالْقِيَاسُ أَنَّهَا كَهُوَ حَتَّى لَا تَمَسَّ ذَكَرَهُ. وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَوْ خَالَفَ فَاسْتَمْتَعَ بِهَا بِغَيْرِ الْجِمَاعِ لَمْ يَلْزِمْهُ شَيْءٌ بِلَا خِلَافٍ قَالَهُ النَّوِوِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ. وَإِنْ جَامَعَ مُتَعَمِّدًا عَالِمًا بِالتَّحْرِيْمِ فَقَدْ اِرْتَكَبَ كَبِيْرَةً، وَنَقَلَهُ فِيْ الرَّوْضَةِ عَنِ النَّصِ وَلَا غَرَمَ عَلَيْهِ فِيْ الْجَدِيْدِ، بَلْ يَسْتَغْفِرُ اللهَ تَعَالَى وَيَتُوْبُ إِلَيْهِ. لَكِنْ إِنْ وَطَىءَ فِيْ إِقْبَال الدَّمِ وَهُوَ أَوَّلُهُ وَشَدَّتُهُ. فَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِدِيْنَارٍ. وَإِنْ جَامَعَ فِيْ إِدْبَارِهِ وَضَعَفِهِ يَتَصَدَّقُ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ وَنَقَلَ الدَّاوِدِيُّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيْ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ فِي الْجَدِيْدِ أَنَّهُ يَلْزِمُهُ ذَلِكَ وَهِيَ فَائِدَةٌ مُهِمَّةٌ وَعَلَى الْقَوْلَيْنِ لَا يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ شَيْءٌ وَيَجُوْزُ صَرْفُ ذَلِكَ إِلَى وَاحِدٍ،  وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

Di dalam Syarah Al-Muhadzdzab Imam Nawawi berkata: Qaul ini lebih kuat dalilnya, oleh sebab itu berhaklah ia dipilih.

Demikian pula di dalam kitab At-Tahqiq dan pada kitab Syarah At-Tanbih dan Al-Wasith, Imam Nawawi memilih qaul ini. Jadi menurut qaul yang pertama, apakah boleh menikmati bagian pusat dan lutut wanita yang sedang haidh; atau menikmati bagian yang setentang dengan keduanya? Imam Nawawi berkata: Tidak pernah aku melihat penukilan dari Ulama mazhab kita sehubungan dengan masalah ini. Tetapi menurut qaul yang dipilih, boleh dilakukan semua itu. Wallahu-a’lam.

Al-Isna’i berkata: Para Ulama Mazhab Syafi’i tidak mengambil keputusan mengenai hukumnya perempuan haidh menyentuh lelaki. Menurut kiasnya, hukum wanita haidh itu sama dengan hukum laki-laki. Jadi memegang  dzakarnya laki-laki itu haram bagi dia. Ketahuilah, bahwa seandainya ada laki-laki melanggar dan bersenang-senang dengan isterinya yang sedang haidh, selain jimak, orang tersebut tidak berkewajiban apa-apa tanpa khilaf. Demikian kata Imam Nawawi di dalam Syarah Al-Muhadzdzab. Akan tetapi jika laki-laki itu menjimak isterinya yang sedang haidh dengan sengaja dan tahu hukumnya, dia telah melakukan dosa yang besar.

Demikian apa yang telah dinukil oleh Imam Nawawi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Ar-Raudhah. Menurut qaul jadid, orang tersebut tidak wajib membayar denda. Dan cukup meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang baik. Tetapi jika dia menjimak istrinya sa’at datangnya darah, yaitu saat permulaan dan saat gencar-gencarnya, disunatkan bersedekah satu dinar.

Dan kalau menjimaknya saat darah mulai turun dan melemah, disunnatkan bersedekah setengah dinar. Ad-Dawudi menukil dari nashnya Imam Syafi’i di dalam qaul jadid, bahwa sedekah seperti itu hukumnya wajib.

ini adalah faedah yang sangat penting.

Permasalahan

Menurut kedua qaul di atas, tidak wajib mengeluarkan apa-apa pun bagi wanita yang dijimak, dan boleh memberikan dinar tersebut kepada satu orang saja. Wallahu-a’lam.

فَرْعٌ﴾ إِذَا ادَّعَتِ الْمَرْأَةُ أَنَّهَا حَاضَتْ فَإِنْ لَمْ يَتَّهِمْهَا بِالْكَذَبِ حَرَمَ الْوَطْءُ وَإِنْ كَذَّبَهَا لَمْ يَحْرُمْ، فَلَوِ اتَّفَقَا عَلَى الْحَيْضِ وَاخْتَلَفَا فِي انْقِطَاعِهِ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا. قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ، وَاعْلَمْ أَنَّ تَحْرِيْمَ الاسْتِمْتَاعِ مُسْتَمِرٌّ حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ وَتَغْتَسِلَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ، [البقرة : 222]﴾ وَلَا فَرْقَ فِيْ الْغُسْلِ بَيْنَ الْمُسْلِمَةِ وَالذِّمِيَّةِ فَإِذَا اغْتَسَلَتْ ثُمَّ أَسْلَمَتْ أَعَادَتْ الْغُسْلُ عَلَى الصَّحِيْحِ واللهُ أَعْلَمُ،

Cabang Permasalahan:

Andaikata seorang isteri mengaku sedang haidh, dan suaminya tidak menaruh curiga terhadap isterinya, haram dia menjimak isterinya. Tetapi jika suaminya mendustakan pengakuan isterinya itu, tidak haram dia menjimaknya.  Andaikata suami isteri telah sependapat mengenai haidhnya, tetapi mereka berselisih soal terputusnya darah haidh, maka ucapan yang diterima adalah ucapan isterinya. Demikian kata Imam Nawawi di dalam Syarah Al-Muhadzdzab. Wallahu-a’lam.

Perlu diketahui bahwa keharaman bersenang-senang dengan isteri waktu sedang haidh, berlangsungnya sampai terputusnya darah haidh itu dan mandi. Karena firman Allah Ta’ala: “……. sehingga wanita-wanita itu suci. Kemudian apabila mereka telah suci, maka datangilah (campurilah) mereka menurut apa yang diperintah Allah.” (Al-Baqarah: 222)

Di sini tidak dibedakan antara mandinya perempuan muslimah dan perempuan dzimmiyah. Jadi seumpama perempuan dzimmiyah itu masuk Islam, kemudian mandi, dia wajib mengulangi mandinya lagi menurtu qaul yang shahih. Wallahu ‘alam.

“Tambahan Pendapat Empat Madzhab” Kutipan dari Fiqih Empat Madzhab Rahmatul-Ummah fikhtilafil-a-immah. Karya Syaikh Al-‘alamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi halaman  38 : “Sanggama dengan Perempuan Haid” Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Bersenang-senang dengan istri yang sedang haid diperbolehkan dari bagian pusar ke atas. Tidak boleh mendekati bagian badan dan pusar ke lutut karena hal itu haram. Sementara itu, Hambali, Muhammad bin al-Hasan, sebagian ulama mazhab Maliki, dan sebagian sahabat Syafi’i berpendapat: Boleh bersenang-senang dengannya, kecuali pada kemaluannya.
Bersanggama dengan istri yang sedang haid pada kemaluannya dengan sengaja adalah haram, menurut kesepakatan para imam mazhab. Namun jika terjadi persanggamaan, menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam qaul jadid dan pendapat paling kuat dalam madzhabnya, serta Hambali dalam salah satu riwayatnya: Ia harus memohon ampun kepada Allah Azza wajalla dan bertaubat kepada-Nya, tetapi tidak di tuntut denda.

Menurut Syafi’i: Lebih disukai bersedekah satu dinar jika senggama dilakukan pada permulaan keluarnya darah dan setengah dinar jika dilakukan ketika haid hampir berakhir. Sementara itu, dalam qaul qadim-nya. Syafi’i berpendapat: Wajib membayar denda. Adapun tentang kadarnya, ada dua pendapat. Pertama (yang paling masyhur), wajib membayar satu dinar jika sanggama dilakukan pada permulaan keluarnya darah dan setengah dinar jika dilakukan ketika haid hampir berakhir. Kedua, memerdekakan budak dalam keadaan apa pun sanggama itu dilakukan.

Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: Bersedekah satu atau setengah dinar. Menurutnya tidak ada perbedaan antara sanggama pada permulaan keluarnya darah dan ketika darah hampir habis.

Apabila darah haid terhenti, tidak boleh sanggama dengan perempuan tersebut hingga ia mandi, meskipun terhentinya dari masa haid terpanjang. Demikian menurut mayoritas ulama. Bahkan, Ibnu al-Mundzir mengatakan, “Hal ini menyerupai ijma mereka”.

Hanafi benpendapat: Jika terhentinya haid itu dari batas masa haid terpanjang, boleh bersanggama sebelum mandi. Namun, jika terhentinya itu bukan dari batas masa haid terpanjang, tidak boleh bersanggama sebelum mandi atau ketika waktu sholatnya telah berlalu.”

Al-Awza’i dan Dawud berpendapat: Apabila perempuan itu telah membasuh kemaluannya, boleh bersenggama dengannya.

Jika haidh terhenti, tetapi tidak ditemukan air untuk bersuci, dalam hal ini Hanafi berpendapat: Tidak boleh bersanggama hingga bertayamum dan sholat. Maliki: Tidak boleh bersanggama hingga ia mandi. Syafi’i dan Hambali: Apabila sudah bertayamum, boleh bersanggama walaupun belum sholat. Demikian Wallahu a’lam.

Haram bersenang-senang dengan sesuatu

وَ الثَّامِنُ (الْاِسْتِمْتَاعُ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ) مِنَ الْمَرْءَةِ فَلَا يَحْرُمُ الْاِسْتِمْتَاعُ بِهِمَا وَلَا بِمَا فَوْقَهُمَا عَلَى الْمُخْتَارِ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ. ثُمَّ اسْتَطْرَدَ الْمُصَنِفُ لِذِكْرِمَاحَقَّهُ اَنْ يَذْكُرَ فِيْمَا سَبَقَ فِيْ فَصْلِ مُوْجِبِ الْغُسْلِ فَقَالَ

  1. Haram bersenang-senang dengan sesuatu (bagian badan, pen) yang ada di antara pusar dan lutut perempuan. Maka tidak haram bersenang-senang dengan pusarnya itu sendiri dan lututnya, dan tidak haram pula dengan sesuatu yang ada pada bagian atas pusar dan lutut. Demikian menurut pendapat yang terpilih, sebagaimana tersebut di dalam syarakh kitab Muhadz-dzab. Kemudian mushannif menyisipkan pembicaraan untuk menyebutkan sesuatu yang semestinya diterangkan di dalam pasal terdahulu yaitu pasal perkara yang mewajibkan mandi, maka beliau berkata :

Demikian ulasan : Yang Diharamkan Sebab Haid (Lengkap Dengan Dalilnya) (Kutyipan dari Haidhun Nisaa) Ulasan ini masih bersambung pada: Yang Diharam sebab Junub Semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua.Terimakasih