Hukum Tradisi 100 Hari Menurut Islam

Posted on

Hukum Tradisi 100 Hari Menurut Islam – Pada kesempatan ini Dutadakwah akan membahas tentang Tradisi 100 Hari. Dalam pembahasan kali ini mengenai bagaimana hukum tradisi 100 harinya ornga meninggal. Pembahasannya di sini kami akan persingkat dan ringkas. Untuk lebih jelasnya silahkan simak ulasan berikut ini dengan seksama.

Hukum Tradisi 100 Hari Menurut Islam

Dalam kehidupan masyarakat, sering kita temui adanya acara mendoakan orang meninggal pada 100 harinya. Acara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendoakan almarhum/al,arhumah yang telah meninggal. Tujuan initinya agar dosa dosanya diampuni dan mendapat jalan yang lebih terang di alam kubur. Selain itu juga berharap dengan wasilah doa, alm bisa lebih terang menjalani hari harinya di alam kubur sesuai ayat tentang kematian.

 

Bolehnya Tradisi Nyratus Hari Kematian

Hadist yang Memperbolehkan dan Syarat Dilakukannya Peringatan 100 Hari

Syaikh Isma’il Zain al-Yamani menulis Dalam Sunan Abu Dawud hadits nomer 2894:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى

Makna Hadits Dari Muahmmad Bin Al-‘Alaa

“Muhammad bin al-‘Ala’ menceritakan dari (Abdullah) bin Idris dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari seorang laki-laki Anshar (shahabat), berkata: ‘Aku keluar bersama Rasulullah berta’ziyah ke salah satu jenazah.

Selanjutnya aku melihat Rasulullah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur (dengan berkata): ‘Lebarkanlah bagian arah kedua kaki dan lebarkan pula bagian arah kepala!’ Setelah Rasulullah hendak kembali pulang, tiba-tiba seseorang yang menjadi pesuruh wanita (istri mayit) menemui beliau, mengundangnya (untuk datang ke rumah wanita tersebut). Lalu Rasulullah pun datang dan diberi hidangan suguhan makanan.

Kemudian Rasulullah pun mengambil makanan tersebut yang juga diikuti oleh para shahabat lain dan memakannya. Ayah-ayah kami melihat Rasulullah mengunyah sesuap makanan di mulut beliau, kemudian Rasulullah berkata: ’Aku merasa menemukan daging kambing yang diambil dengan tanpa izin pemiliknya?!’

Kemudian wanita itu berkata: ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menyuruh untuk membeli kambing di Baqi, tapi tidak menemukannya, kemudian aku mengutus untuk membeli dari tetangga laki-laki kami dengan uang seharga (kambing tersebut) untuk dikirimkan kepada saya, tapi dia tidak ada dan kemudian saya mengutus untuk membeli dari istrinya dengan uang seharga kambing tersebut lalu oleh dia dikirimkan kepada saya.’ Rasulullah kemudian menjawab: ’Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!.”

Keterangan Hadits Dari Muahmmad Bin Al-‘Alaa

Diperbolehkannya bagi keluarga mayit membuat hidangan atau (wadhimah) makanan perkumpulan orang berduka. Dan mengundang orang lain untuk hadir memakannya namun tidak untuk riya’ atau pamer. Bahkan, jika difahami dari hadits tersebut, melakukan wadhimah tersebut adalah termasuk qurbah (ibadah). Sebab, adakalanya memberi makan bertujuan mengharapkan pahala untuk si mayit termasuk utama utamanya qurbah. Perihal tersebut sudah menjadi kesepakatan bahwa pahalanya bisa sampai kepada mayit.

Mungkin pula bertujuan menghormati tamu dan niat menghibur keluarga yang sedang mendapat musibah. Tujuannya agar tidak lagi larut dalam kesedihan sesuai ayat Al Qur’an tentang membahagiakan orang lain. Baik jamuan tersebut dilakukan saat hari kematian, seperti yang dilakukan oleh istri mayit dalam hadits di atas. Atau dilakukan di hari hari berikutnya. (Mungkin maksud Syaikh Ismail adalah hari ke-7, 40, 100 dan 1000).

Inti dari hadist tersebut ialah :

Diperbolehkan membuat hidangan dan mengundang orang lain untuk memakannya.

Acara harus diniatkan sebagai ibadah dan diniatkan untuk almarhum agar pahala sampai kepada almarhum. Perihal itu seperti cara berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal.

Acara dilakukan dengan tujuan menghormati tamu dan menghibur keluarga terdekat agar tidak larut dalam kesedihan.

Kisah 100 Hari di Masa Rasulullah

“Buatlah makanan untuk keluarga Ja‘far, karena anggota keluarga yang wanita sedang sibuk atau anggota keluarga laki-laki sedang sibuk”. Menurut Syaikh Isma‘il, hadits tersebut (keluarga Ja’far) ada kemungkinan (ihtimal) khusus untuk keluarga Ja‘far, karena Rasulallah melihat keluarga Ja‘far tersebut sedang dirundung duka sehingga anggota keluarganya tidak sempat lagi membuat makanan.

Kemudian Rasulullah menyuruh anggota keluarga beliau untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja‘far. Selain itu juga, tidak ada hadits yang sharih (jelas) yang menjelaskan bahwa; Rasulullah melarang bagi keluarga mayit membuat hidangan atau walimahan untuk pentakziyah dengan niat sedekah.

“Dari Aisyah, istri Rasulullah, ketika salah satu keluarganya ada yang meninggal, para wanita-wanita berkumpul dan kemudian pergi kecuali anggota keluarganya dan orang-orang tertentu. Kemudian beliau memerintahkan untuk membawakannya periuk berisi sup yang terbuat dari tepung yang dicampuri dengan madu kemudian dimasak.

Kemudian dibuatlah bubur sarid dan sup tadi dimasukkan ke dalam bubur tersebut. Lalu beliau berkata; ‘Makanlah makanan ini karena aku mendengar dari Rasulullah bersabda bahwa bahwa sup dapat melegakan hati orang yang sedang sakit; menghilangkan sebagian kesusahan.”

Inti dari hadist tersebut ialah diperbolehkan selama niatnya untuk menghormati tamu dan mendoakan serta berdoa untuk almarhum, acara juga tidak boleh dilakukan dengan besar besaran atau bermewah mewahan, jauh lebih baik untuk memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan misalnya kepada yatim piatu yang miskin dan kepada fakir miskin dan niatkan amalan untuk almarhum agar pahalanya sampai.

Hukum 100 Hari dalam Islam Diperbolehkan

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.: ‘Ibu saya telah meninggal, dan aku berprasangka andai dia bisa berbicara pasti dia akan bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulullah menjawab: ‘Benar’.”

Hal sama dilakukan di Makkah dan Madinah

As-Suyuthi juga mengatakan: “Sunah memberi makan selama 7 hari tersebut berlaku sampai sekarang di Makkah dan Madinah, dan secara zhahirnya hal itu sudah ada dan tidak pernah ditinggalkan masyarakat sejak zaman shahabat sampai sekarang. Dan mereka mengambilnya dari salaf-salaf terdahulu.”

Hukumnya Menurut Syara’

Diperbolehkan menurut syariat dengan niat sedekah dan banyak membaca Al Qur’an.

Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abul Fath Nashrullah bin Muhammad bahwa Nashr al-Maqdisi wafat di hari Selasa tanggal 9 Muharram tahun 490 hijriyyah di Damaskus dan kami menetap di makamnya selama 7 hari membaca al-Qur’an sebanyak 20 khataman.

Adapun acara 40 hari, 100 hari atau 1000 hari dari kematian dengan melakukan tahlilan dan bershadaqah memang tidak ada dalil yang mengatakan sunah. Namun demikian, melakukan budaya tersebut diperbolehkan menurut syariat. Dan seyogianya bagi yang mengadakan acara tersebut tidak mengi’tiqadkan bahwa hal tersebut adalah sunnah dari Rasulullah. Akan tetapi cukup berniat untuk bersedekah dan membacakan Al-Qur’an. MembacaAl-qur’an itu pahalanya dihadiahkan kepada mayit, sebagaimana keterangan di atas.

I’tikad Dalam Acara Tersebut

Acara bukan untuk bid’ah atau meniru agama lain.

Sebagian dari pernyataannya tentang acara selamatan 7 hari yang katanya; adalah merupakan salah satu dakwah (ajaran syari’at) umat Hindu sudah terbantah dengan hadits-hadits di atas.

Dalam Kegiatan Acara tersebut

Acara tidak keluar dari syariat islam.

Andai anggapan tersebut benar adanya; bahwasannya budaya wadhimah kematian 7 hari, 40 hari dan sebagainya tersebut adalah bermula dari budaya warisan umat Hindu Jawa; Sebagaimana yang di yakini oleh bebarapa Kiyai dan ahli sejarah babat tanah Jawa. Dan di saat ajaran Islam yang di bawa Wali Songo datang, budaya tersebut sudah terlanjur mendarah daging dengan kultur masyarakat Jawa kala itu.

Kemudian dengan dakwah yang penuh hikmah dan kearifan dari para wali, budaya yang berisi kemusyrikan tersebut di giring dan di arahkan menjadi budaya yang benar serta sesuai dengan ajaran Islam, yaitu dengan diganti dengan melakukan tahlilan, kirim do’a untuk orang yang telah meninggal atau arwah laluhur dan bersedekah.

Membaca Sejarah Metode Dakwah

Maka sebenarnya jika kita kembali membaca sejarah Islam bahwasannya methode dakwah wali 9 yang mengganti budaya Hindu tersebut dengan ajaran yang tidak keluar dari tatanan syariat adalah sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulullah yang mengganti budaya Jahiliyyah melumuri kepala bayi yang di lahirkan dengan darah hewan sembelihan dan diganti dengan melumuri kepala bayi dengan minyak zakfaron.

Apa yang di lakukan Rasulullah tersebut tersirat dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak, Abu Dawud dalam Sunan-nya, Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubrayang semuanya di riwayatkan dari shahabat Abu Buraidah al-Aslami berikut: “Saat kami masih hidup di zaman Jahiliyyah; saat salah satu dari kami melahirkan seorang bayi, maka kami menyembelih seekor kambing dan kepala bayi kami lumuri dengan darah kambing tersebut. Namun saat Allah mendatangkan Islam, kami menyembelih kambing, kami cukur rambut kepala bayi dan kami lumuri kepalanya dengan minyak zakfaron”

Dengan demikian, diperbolehkan menadakan acara peringatan 100 hari orang meninggal dengan tujuan yang baik dan benar benar untuk mendoakan almarhum atau bukan untuk riya serta diutamakan memberi kebahagiaan pada orang lain seperti fakir miskin dan tetangga serta bagi yang tidak mampu tidak perlu dipaksakan atau tidak melakukan pun tak apa daripada harus memaksakan dengan berhutang yang bisa menambah beban, intinya acara diniatkan karena Allah dan sesuai kemampuan.

Hukum Tradisi 100 Hari
Hukum Tradisi 100 Hari

Demikian ulasan singkat materi tentang; Hukum Tradisi 100 Hari Menurut Islam. Semoga dapat bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan untuk kita semua. Terimakasih.