Disyariatkan Shalat Gerhana Kusuf Dan Khusuf

Posted on

Disyariatkan Shalat Gerhana Kusuf Dan Khusuf – Pada kesempatan ini  akan membahas tentang Shalat Gerhana. Yang mana membahas tentang disyariatkan shalat gerhana baik kusuf dan khusuf serta sejarah dan problem mengenai disyariatkan khutbah pada saat gerhana dengan secara singkat dan jelas. Untuk lebih jelasnya silahkan simak ulasan Dutadakwah berikut ini.

Disyariatkan Shalat Gerhana Kusuf Dan Khusuf

Dalam khazanah fikih Islam, jika terjadi fenomena gerhana bulan atau gerhana matahari, maka disyariatkan bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat gerhana. Shalat yang dilaksanakan karena sebab terjadinya gerhana matahari disebut dengan shalat Kusuf, sedangkan shalat yang dilaksanakan karena sebab terjadinya gerhana bulan disebut dengan shalat Khusuf.

Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. (Al-Wajiz fil Fiqh al-Islami, Wahbah az-Zuhaili, 1/285)

Dalilnya firman Allah ‘azza wajalla,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushilat Ayat 37)

Ketika para sahabat sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terjadilah gerhana matahari. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menjulurkan selendangnya kemudian masuk ke dalam masjid. Para sahabat mengikuti beliau masuk ke dalam Masjid.

Beliau lalu mengimami para sahabat shalat dua rakaat hingga matahari kembali tampak bersinar. Setelah itu beliau bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ

Artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena matinya seseorang. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan banyaklah berdoa hingga selesai gerhana yang terjadi pada kalian.” (HR. Al-Bukhari No. 982)

Selain hadits yang tertera di atas, ada banyak hadits lain yang menjelaskan bagaimana di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana dan beliau melaksanakan shalat dua rakaat karena sebab adanya fenomena gerhana tersebut.

Syariat Shalat Gerhana Hanya Berlaku Jika Gerhana Terlihat

Yang perlu ditekankan dalam persoalan ini adalah syariat pelaksanaan shalat gerhana baik gerhana bulan atau gerhana matahari hanya berlaku bagi umat Islam yang menyaksikan gerhana atau jika gerhana tampak di wilayah di mana ia berada.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid mengatakan, “Penduduk sebuah negeri yang di sana tidak tampak fenomena gerhana mereka tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat gerhana. Orang yang melaksanakan shalat gerhana hanya berdasarkan informasi ahli hisab maka ia telah keliru dan menyelisihi sunnah.”

Beliau berargumen bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan adanya syariat shalat gerhana yang beliau lakukan dengan proses melihat (rukyat) gerhana, bukan berdasar informasi prediksi ahli hisab, juga bukan karena gerhana yang terlihat dari wilayah lain.

Pernyataan bahwa perintah melaksanakan shalat gerhana hanya berlaku bagi umat Islam yang melihat gerhana atau gerhana terlihat di wilayah tempat tinggalnya dikuatkan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,

Ziyad bin ‘Alaqah berkata, “Aku mendengar Al-Mughirah bin Syu’bah mengatakan, ‘Telah terjadi gerhana matahari ketika wafatnya Ibrahim. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَْ

Artinya : “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan ia tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka berdo’alah kepada Allah dan dirikan shalat hingga (matahari) kembali tampak.” (HR. Al-Bukhari No. 1000)

Kalimat Fa idza ra’aitumuhuma (jika kalian melihat kedua gerhana itu) menjadi syarat atas tegaknya syariat shalat gerhana.

Khutbah Shalat Gerhana Wajibkah?

Apakah Wajib Khutbah Shalat Gerhana Sebagaimana Shalat Jumat?

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang ini. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak ada khutbah dalam shalat gerhana. (Bada’i’ ash-Shana’i’, 1/282; Mawahibul Jalil, 2/202; Hasyiyah ad-Dasuki, 1/402; Al-Mughni, 2/425; Tabyinul Haqaiq, 1/229)

Mereka berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” (HR. Al-Bukhari No. 986)

Khutbah Gerhana Pendapat Imam Syafi’i

Sementara imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa disunnahkan bagi imam shalat gerhana untuk menyampaikan khutbah setelah pelaksanaan shalat gerhana dengan format seperti khutbah ‘Id. (Al-Majmu’, 5/25; Asannul Mathalib, 1/286)

Namun Jumhur ulama salaf sepakat bahwa khutbah dalam shalat gerhana itu hukumnya mustahab (dianjurkan). Pendapat ini bersumber dari pernyataan imam an-Nawawi, “Inilah (hukum mustahab) pendapat jumhur ulama salaf, dan Ibnu Mundzir menukilnya dari jumhur ulama.” (Al-Majmu’, 5/59)

Ibnu Daqiq al-‘Id rahimahullah menanggapi pendapat pertama yang menyatakan bahwa dalam shalat gerhana tidak ada khutbah. Beliau menyatakan,

“Tampak jelas dalam dalil tersebut bahwa dalam shalat gerhana itu terdapat khutbah, namun barangkali ini tidak terlihat oleh Imam Malik ataupun Imam Abu Hanifah.” (Ihkmaul Ahkam Syarh Umdatul Ahkam, 2/352)

Barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Daqiq al-‘Id rahimahullah adalah adanya lafal ini dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas:

…ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ…

Artinya :…Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali. Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah…” (HR. Al-Bukhari No. 986)

Argumen Ulama Kontemporer Tentang Khtbah Gerhan

Ulama kontemporer seperti Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga menguatkan bahwa penyampaian khutbah disunnahkan setelah melaksanakan shalat gerhana. (Majmu’ fatawa Syaikh Ibnu Baz, 13/44; Asy-Syarh al-Mumti’, 5/188)

Jadi, para ulama memang ikhtilaf apakah dalam shalat gerhana itu ada khutbahnya atau tidak. Namun, pendapat yang terkuat dan yang paling masyhur menurut kami adalah menyampaikan khutbah setelah shalat gerhana hukumnya mustahab (dianjurkan), bukan wajib, baik gerhana bulan ataupun gerhana matahari. Bagi umat Islam yang melaksanakan shalat gerhana secara berjamaah di masjid dan bagi yang shalat gerhana sendiri (munfarid), maka tidak perlu khutbah setelah shalat. Wallahu a’lam.

"<yoastmark

Demikian ulasan tentang Disyariatkan Shalat Gerhana Kusuf Dan Khusuf. Semoga dapat brmanfaat dan menambah ilmu pengetahuan untuk kita semua.  Abaikan saja uraian ini bila tidak cocok dengan pendapat pembaca. Terimakasih.